Sahabat.com - Kota Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia menyimpan banyak jejak sejarah.Tidak jauh dari Jalan Tunjungan, terdapat sebuah kawasan yang bernama Peneleh. Kawasan ini tidak hanya terdapat komplek makam tua zaman kolonial, tetapi juga bangunan-bangunan yang diyakini merupakan peradaban masa lampau.
Peserta kegiatan jelajah sejarah "HistoReligi" yang digelar oleh Pelindo, Forum Hotel dan Media serta komunitas sejarah Begandring Soerabaia mencoba menelusuri kawasan Peneleh. Di kawasan ini terdapat komplek pemakaman lama yang dikenal banyak orang dengan sebutan Makam Belanda.
Saat ini, makam tersebut hanya menjadi sebuah bekas pemakaman orang yang meninggal di zamannya, atau menjadi sebuah kompleks prasasti sejarah.
Pada masa kolonial (1847- 1947), hampir selama 100 tahun, lahan di kawasan Peneleh ini menjadi tempat pemakaman warga Eropa yang tinggal di Kota Surabaya, diantaranya orang-orang Belanda, Inggris, Perancis, Jerman dan Italia.
Menurut Koordinator Begandring Soerabaia Kuncarsono Prasetya, banyak jenazah warga negara Eropa, terutama yang terlibat langsung dengan Pemerintahan Hindia Belanda saat itu, "disimpan" di makam tersebut.
"Ada 3.575 jenazah yang semuanya masih asli. Bahkan, kemungkinan jenazah Pak Perez yang pernah menjadi Wakil Direktur Mahkamah Agung Hindia Belanda itu masih utuh kalau peti matinya, tidak hancur," ucapnya. Makam Pierre Jean Baptiste de Perez atau P.J.B. de Perez terlihat seperti monumen di komplek tersebut.
Menurut cerita yang disampaikan Kuncarsono, Perez pernah menjadi residen Surabaya dan Gubernur Sulawesi tersebut meninggal saat berada di dalam kapal dan jenazahnya dikebumikan setelah sekitar 10 hari di laut. Perjalanan menuju Surabaya cukup lama sehingga peti wine menjadi opsi peristirahatan terakhir Perez menuju Surabaya. Sesampainya di Surabaya, kemudian dikebumikan di Makam Belanda Peneleh, sesuai dengan keinginannya.
Selain Perez, ada tokoh-tokoh lain yang juga dikuburkan di makam yang dibangun pada 1814 tersebut. Salah satunya Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus (1787–1844). Kuburan itu dikelilingi oleh pagar besi cor tanpa pintu berwarna hitam dengan desain seperti gereja tua. Nisannya besar terbuat dari besi cor dengan susunan huruf-huruf terinskripsi, posisinya juga terlentang menghadap ke langit.
Pieter Merkus, wafat di rumah Simpang atau saat ini disebut dengan Gedung Negara Grahadi pada 2 Agustus 1844. Ada selang waktu selama tiga tahun antara kematian Merkus (1844) dan dibukanya pemakaman ini (1847), karena pemakaman tersebut belum diresmikan oleh pemerintahan saat itu.
Perkampungan Peneleh
Setelah menyusuri area pemakaman, peserta diajak berjalan lagi menuju perkampungan Peneleh. Sebelum memasuki perkampungan, Kuncarsono menjelaskan mengenai masjid yang juga menjadi jejak salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Muhammadiyah, yang berdekatan dengan sekolah Nahdlatul Ulama dan di sampingnya terdapat toko dari warga keturunan Tionghoa.
"Tempat ini bisa dikatakan menjunjung tinggi toleransi," katanya seraya menjeleaskan mengenai "keganjilan" dari sebuah makam tak bernama yang tersebar di perkampungan Peneleh dan makam-makam tersebut terpisah.
Di perkampungan ini juga djumpai sebuah masjid yang berdiri megah di tengah kampung Peneleh Gang V, yakni Masjid Jamik Peneleh, Masjid ini diyakini merupakan salah satu peninggalan dari Sunan Ampel, yang dibangun sekitar 1430 Masehi. Masjid ini dihiasi 25 ventilasi, tiap ventilasinya terukir aksara Arab indah nama-nama 25 para nabi.
Masjid tersebut menjadi saksi bisu serangan bom Belanda di era kolonial. Pada saat peperangan dulu, menara Masjid Jamik Peneleh pernah rusak akibat serangan meriam. Meski meriam itu berhasil menghancurkan menara dan langit-langit masjid, namun saat terjatuh ke lantai, bom itu justru tidak meledak.
Peserta "HistoReligi" juga diajak "Ngabuburit" menuju rumah kediaman HOS Tjokroaminoto. Sebuah rumah yang menjadi bukti tempat belajar para tokoh muda perintis kemerdekaan, yakni Bung Karno, Muso, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka dan Kartosuwiryo
Rumah yang juga pernah menjadi tempat Bung Karno indekos tersebut ada cerita yang sering luput, yaitu tentang romansa cinta pertama Bapak Proklamator Indonesia itu dengan Siti Oetari Tjokroaminoto. Dia anak mbarep (sulung) Tjokroaminoto, usianya terpaut lebih muda enam tahun dari Bung Karno.
Dari rumah yang penuh romansa dan sejarah tersebut, peserta diajak mengenali peninggalan dan yang menjadi bukti otentik bahwa kawasan Peneleh sudah ada sejak zaman Majapahit, yakni ke Sumur Jobong.
Menurut penuturan Sang Juru Kunci sumur Agus Santoso, Sumur Jobong ditemukan pada saat ada proyek gorong-gorong di Kampung Pandean I Surabaya pada akhir Oktober 2018.
"Awalnya dari penggalian drainase gorong-gorong. Saat penggalian di kedalaman satu meter sekop tukang membentur benda kera,s ternyata benda itu bata-bata yang tebal dan itu berjajar di atas sumur. Saat di atas saya melihat itu bentuknya seperti bulan sabit, akhirnya saya lapor ke RW," ujarnya.
Temuan Sumur Jobong di Kampung Pandean tersebut bisa dikatakan adanya wilayah permukiman kuno. Hal itu diperkuat dengan adanya penelitian dari tim Balai Pelestarian Kebudayaan Jawa Timur (Trowulan).
Tak hanya itu, hasil uji karbon tulang yang ditemukan di sekitar Sumur Jobong oleh National University of Australia 2019 menunjukkan bahwa kawasan tersebut sudah ada sejak 1430 Masehi. Selain itu, gen dari penduduk sekitar setelah diuji menunjukkan 90 persen memang ada keturunan dari era Majapahit.
Sumur Jobong saat ditemukan dalam kondisi tertutup, namun masih aktif dan sumbernya terus mengeluarkan air, bahkan airnya jernih. Tanpa dipompa pun, air di sumur tersebut penuh tidak sampai meluber. Airnya kerap dimanfaatkan untuk menyirami tanaman di kampung. Airnya segar dan tidak berbau.
Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan bisa belajar sejarah dari Kota Pahlawan sambil ngabuburit menunggu waktu adzan Maghrib. Semoga bukti sejarah yang ada di kawasan Peneleh akan tetap terjaga hingga kelak, agar penerus Bangsa ini tetap dapat mengenali bukti kebesaran dari Peneleh di Kota Surabaya.(Ant)
0 Komentar
KPAI Dapati 1,14 Juta Anak Masih Jadi Pekerja Anak
Kasad Panen Raya Jagung dan Singkong di Lahan Ketahanan Pangan Kostrad Ciemas Sukabumi
Siap Galau Bareng Lyodra hingga Afgan di Pesona Nusantara NTV
Tokoh Adat Ungkap Kedekatan PLN dengan Masyarakat di Sekitar Kawasan Pengembangan PLTP Ulumbu
PLN UIP Nusra Kembangkan Berbagai Sektor Potensial di Sekitar Kawasan Pengembangan PLTP Ulumbu
Polda Metro Jaya Tangkap Kekasih Artis Tamara Tyasmara
Tanggul wulan Jebol, Jalur Pantura-kudus Terputus
Wakapolri Tegaskan Tidak Ada Instruksi Video Testimoni Rektor
Leave a comment