Ahmad Sahroni: Pembentukan RKUHP Upaya Menghasilkan Produk Hukum yang Lebih Modern dan Memahami Nilai-nilai Keindonesiaan

23 Februari 2023 12:49
Penulis: Adiantoro, news
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, S.E., M.I.Kom.

Sahabat.com - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, S.E., M.I.Kom., mengatakan sudah 77 tahun Indonesia merdeka, namun hingga kini Indonesia masih bergantung kepada kodifikasi hukum pidana yang dibentuk ratusan tahun silam dengan logika penjajah.

Dia menilai hukum dianggap sebagai ajang balas dendam. Menurutnya, hukum era kolonial tersebut sudah tidak mampu menyesuaikan kebutuhan masyarakat Indonesia modern saat ini.

"Pembentukan RKUHP merupakan upaya kita untuk menghasilkan produk hukum yang lebih modern, lebih berimbang, lebih memberi kepastian, dan juga lebih memahami nilai-nilai keindonesiaan,” ujar Ahmad Sahroni, pada Kamis, 23 Februari 2023.

Ahmad Sahroni hadir secara virtual dalam kegiatan ‘The First National Conference of Indonesian Young Lawyers 2023’ yang mengangkat sejumlah isu penting di dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Kontekstual KUHP dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia’.

Dia menambahkan, dalam sejarah pembentukannya, RKUHP memakan waktu yang sangat lama, bahkan hingga puluhan tahun. "Setiap rezim kekuasaan turut memberikan sumbangsih terbaiknya dalam pembentukan RKUHP. Namun di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kita mengalami percepatan yang cukup signifikan,” lanjutnya.

DPR khususnya di Komisi III, ungkap Ahmad Sahroni, benar-benar terbuka selama proses penyusunan RKUHP ini. "Kami juga mendorong pemerintah untuk melakukan upaya-upaya sosialisasi kepada masyarakat. Sebab sosialisasi merupakan kunci jawab ketidaktahuan. Ditunda-tundanya pengesahan RKUHP ini juga menjadi bukti bahwa kita benar-benar mendengar masukan dari masyarakat," imbuhnya.

Diungkapkannya, terdapat lebih dari 600 pasal di dalam RKUHP. Namun, jelas Ahmad Sahroni, jika ini tidak sepenuhnya hasil dari pemikiran pemerintah dan DPR saja, karena banyak pasal-pasal di RKUHP yang merupakan hasil dari pemikiran masyarakat sipil yang concern dalam bidang tersebut. 

"Masyarakat memang harus kritis. Hidup di era demokrasi memang harus penuh check and balances. Sebab hukum ini akan hidup di tengah masyarakat. Sudah sepantasnya masyarakat memberi masukan dan perubahan. Masyarakat sipil merupakan watchdog yang menjadi penyeimbang kekuasaan,” tegas Ahmad Sahroni.

Guru Besar di Bidang Ilmu Hukum Internasional Universitas Padjajaran (Unpad), Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M. (Tengah).

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar di Bidang Ilmu Hukum Internasional Universitas Padjajaran (Unpad), Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M., menyoroti reorientasi masa depan pembaruan KUHP Nasional Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023.

Dia mengatakan pada 2 Januari 2023 telah diundangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, UU Nomor 1 Tahun 2023, menggantikan KUHP Tahun 1946. "UU Nomor 1 tahun 2023, telah mengganti atau mengubah 21 ketentuan peraturan perundang-undangan. UU ini mulai setelah 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, sedangkan peraturan pelaksanaan dari UU ini harus ditetapkan paling lama 2 tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan," ujar Romli Atmasasmita.

Menurutnya, substansi KUHP 2023 terdiri dari 2 buku. Buku kesatu, yakni tentang aturan umum, dan buku kedua tentang tindak pidana. "Buku kesatu meliputi enam bab dan buku kedua meliputi 37 bab, termasuk bab ketentuan penutup dan bab ketentuan peralihan. Selain tindak pidana umum, di dalam buku kedua telah diatur juga ketentuan tindak pidana khusus yang diatur dalam Bab XXXV yang mengatur 5 tindak pidana yakni, tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkotika," lanjutnya.

Menurutnya, di dalam penjelasan umum UU Nomor 1 tahun 2023, diberlakukan dengan misi tunggal yang mengandung makna ‘dekolonisasi’ ke dalam bentuk rekodifikasi. "Sejalan dengan perkembangan masyarakat modern misi UU ini juga adalah ‘demokratisasi hukum pidana’, dan misi ketiga, adalah misi ‘konsolidasi hukum  pidana’, serta misi keempat adalah misi adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan pesat baik di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehubungan dengan perkembangan ilmu hukum pidana maupun perkembangan nilai-nilai, standar, dan norma yang diakui oleh bangsa-bangsa di dunia internasional," tambah Romli Atmasasmita.

Dia menyebut keempat misi tersebut telah diletakkan dalam kerangka politik hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan atau kodifikasi dan unifikasi hukum dengan maksud menciptakan dan menegakkan konsistensi, keadilan, kebenaran, ketertiban, kemanfaatan dan kepastian hukum dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan masyarakat, kepentingan individu dalam Negara Kesatuan RI yang berlandaskan Pancasila dan UU Dasar Negara RI tahun 1945.

"KUHP Nasional UU Nomor 1 Tahun 2023 yang telah digagas dan dirancang sejak tahun 1963 kurang lebih 60 tahun, dengan pemikiran ahli-ahli hukum Indonesia bersumber pada nilai-nilai kebangsaan Indonesia dan diharapkan dapat memenuhi harapan bangsa Indonesia yaitu kepastian hukum, keadilan dan kemafaatan serta perlindungan hak asasi manusia masyarakat Indonesia," imbuhnya.

"Sejalan dengan perkembangan pengakuan Pemerintah Indonesia atas Deklarasi HAM Universal 1946 dengan UU Nomor 12 tahun 2005; dan dikuatkan oleh Perubahan UUD45, di dalam Bab XA Pasal 28 D ayat (1) menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum. Pernyataan di dalam Pasal 28 D ayat (1) tersebut sekaligus secara konstitusional mencerminkan pengakuan perlunya perubahan atas tujuan hukum nasional, sejalan dengan ketentuan Pasal 28D (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, menjadi kepastian hukum yang adil dan kemanfaatan sosial bagi masyarakat luas. Tidak lagi, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan semata-mata atau dipertentangkan antara kepastian dan keadilan," urainya. 

Di dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP yang diundangkan pada 9 Januari 2023, telah ditetapkan tujuan UU Pidana. Dia mengatakan tujuan pemidanaan, mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, dan menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 

"Merujuk pada tujuan hukum yang luhur tersebut diperkuat secara filosofis dan kemanusiaan dengan Pasal 52 yang menegaskan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia. Agar praktik peradilan pidana tidak menyimpang dari tujuan hukum pidana yang luhur dan mulia maka UU Nomor 1 tahun 2023 KUHP telah menegaskan bagi HAKIM, yaitu ditentukan dalam Pasal 53 (1). Yakni, pertama, dalam mengadili suatu perkara pidana, HAKIM wajib menegakkan hukum dan keadilan. Kedua, jika dalam menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, HAKIM wajib mengutamakan keadilan." 

"Selain penegasan hal mengenai kepastian dan keadilan, juga kepada HAKIM telah ditentukan 11 hal yang wajib dipertimbangkan dalam mengambil putusan, tercantum dalam Pasal 54 ayat (1), yaitu bentuk kesalahan pelaku tindak pidana, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, sikap batin pelaku tindak pidana, tindak pidana dilakukan dengan direncanakan atau tidak direncanakan, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pelaku tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku tindak pidana, pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban, pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya, nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat," jelasnya.

Sementara itu, dalam Pasal 54 ayat (2) berat-ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan.

"Merujuk pada tujuan dan pedoman pemidanaan tampak bahwa pembentuk UU Pidana Nomor 1 tahun 2023 menganut filosofi Pancasila, khususnya karakter masyarakat Indonesia, pemaafan dan filosofi Restorative yang lebih besar dibandingkan dengan filosofi Retributif sehingga dapat disimpulkan bahwa, bagi pembentuk UU KUHP Nomor 1 tahun 2023, penghukuman/pemidanaan bukan lagi satu-satunya tujuan hukum pidana melainkan tujuan alternatif. Contoh pidana mati di dalam Pasal 98. Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Pidana mati diterapkan secara alternatif dengan pidana bersyarat dan tidak lagi termasuk jenis pidana pokok."

"Perubahan filosofi hukum pidana in casu pemidanaan tersebut memiliki konsekuensi perubahan pemikiran (mindset) aparatur hukum termasuk para Hakim, selain itu juga masyarakat pada umunya yang selalu terobsesi pada lezx talionis. Misalnya dalam perkara pembunuhan Josua (Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat) oleh atasannya seorang jenderal polisi kita lihat bagaimana sikap masyarakat terhadap Ferdi Sambo dan istrinya, Putri Chandrawati yang jauh berbeda sikap dibandingkan terhadap korban dan seorang JC, Bharada Richard Eliezer, seorang pelaku penembakan yang dihargai layaknya seorang pahlawan karena telah membuka kasus pembunuhan seterang-terangnya dan disertai kejujuran dan keberanian yang tidaklah mungkin dilakukan oleh setiap orang pada umumnya."

"Di dalam kerangka implementasi ketentuan UUD 45 ke dalam perwujudan KUHP Nasional UU Nomor 1 tahun 2023 tujuan hukum pidana sebagaimana telah ditetapkan dalam UU tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan Pasal 28D ayat  (1) sebagai berikut: Setiap orang berhak atas perlindungan, jaminan atas kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum. Saya menyimpulkan bahwa karakteristik UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP mengandung karakteristik, yakni filosofi Pancasila, memiliki tujuan kepastian hukum yang adil dan kemanfaatan sosial, perlindungan HAM pelaku, korban dan kepentingan masyarakat luas, mengandung sistem pemidanaan ‘dual-track system’, dan upaya menempatkan manusia pelaku pada tempat yang bermartabat dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat," jelasnya.

Sementara implikasi pemberlakuan UU Nomor 1 tahun 2023 KUHP yang akan berlaku efektif pada 2 Januari 2025, yakni perubahan filosofi pemidanaan dari filosofi Retributif-lex talionis kepada filosofi pemidanaan pemasyarakatan, peningkatan kekuatan hukum pada lembaga hukum yaitu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban-LPSK serta KOMNAS HAM, serta pembentukan lembaga Yudisial Desa sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 KUHP.

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment