Gayus Lumbuun: Organisasi Advokat Harus Mengambil Peran Maksimal dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik

23 Februari 2023 17:38
Penulis: Adiantoro, news
Mantan Hakim Agung, Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H.

Sahabat.com - Organisasi Advokat, sebagai stakeholder kebijakan publik sesuai dengan tujuan pembentukannya harus mengambil peran yang maksimal dalam proses perumusan kebijakan publik, khususnya di bidang hukum. 

Hal itu dikatakan mantan Hakim Agung, Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H., dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Reposisi Peran Organisasi Advokat Sebagai Stakeholder Kebijakan Publik', pada kegiatan 'The First National Conference of Indonesian Young Lawyers 2023', di Hotel Pullman, Kota Bandung, Jawa Barat (Jabar), pada Kamis, 23 Februari 2023.

Dia mengapresiasi tema FGD yang dipilih asosiasi pengacara muda (Young Lawyers Committee/YLC) Peradi, karena menggambarkan adanya kepekaan yang tinggi dari para pengacara muda terhadap isu-isu kebijakan publik nasional.

"Dalam kesempatan ini, saya akan menjelaskan kerangka berpikir mengenai pentingnya peran dari organisasi advokat sebagai stakteholders dalam kebijakan publik di Indonesia. Pertama, terkait dengan supranstruktur dan infrastruktur politik. Kedua, organisasi advokat sebagai infrastruktur politik. Ketiga, konsep tentang 'meaningfull public participation' berdasarkan putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 91 tahun 2020 dan Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2022. Dan, keempat, adalah bentuk partisipasi organisasi advokat dalam perumusan kebijakan publik, khususnya dalam pembentukan Undang-Undang," ujar Gayus Lumbuun.

Dia menyebutkan S.L.Iitman dan J. Suest (dalam Visual Outline of Comparative Government) mengemukakan struktur ketatanegaraan terdiri dari suprastruktur politik dan infrastruktur politik. "Suprastruktur adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut alat-alat perlengkapan negara, termasuk segala hal yang berhubungan dengannya (kedudukan, kekuasaan, wewenang, tugas, pembentukan, serta hubungan alat-alat itu satu sama lain) seperti lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif. Sedangkan infrastruktur politik terdiri dari lima komponen, yaitu partai politik, golongan kepentingan, alat komunikasi politik, golongan penekan dan tokoh politik," lanjutnya.

Oleh karena itu, kata dia, sistem politik Indonesia dibangun oleh dua komponen tersebut, yaitu suprastruktur politik dan infrastruktur politik. "Suprastruktur politik merupakan pusat kekuasaan formal negara, sementara infrastruktur politik merupakan pusat kekuasaan politik rakyat. Sebagai pusat kekuasaan negara, dua komponen tersebut saling berkaitan satu sama lain. Suprastruktur politik bisa juga diartikan sebagai lembaga-lembaga pembuat keputusan politik yang sah. Lembaga-lembaga tersebut memiliki tugas mengkonversi input yang terdiri dari tuntutan dan dukungan yang menghasilkan suatu output berupa kebijakan publik," tambah Gayus Lumbuun. 

Selain itu, suprastruktur politik sebagai pusat kekuasaan formal negara juga memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan politik rakyat. Suprastruktur politik merupakan komponen yang sangat dibutuhkan dalam proses bernegara agar proses pelaksanaanya bisa berjalan dengan baik. Sebab suprastruktur politik dapat membentuk regulasi berupa kebijakan publik untuk mengatur negara.

Dijelaskannya, dalam sebuah demokrasi partisipatif, kata kunci yang harus diperhatikan adalah peran serta masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan baik yang dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif. 

"Dengan demikian seluruh Lembaga Negara terutama yang dipilih melalui pemilihan umum (elected-official) harus mengedepankan peran serta masyarakat itu melalui berbagai saluran konstitusional yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan," imbuhnya.

Menurutnya, sebagaimana dikemukakan S.L.Iitman dan J. Suest, infrastruktur politik terdiri dari lima komponen, yakni partai politik, golongan kepentingan, alat komunikasi politik, golongan penekan dan tokoh politik. "Dapat saya katakana bahwa organisasi profesi seperti profesi advokat merupakan infrastruktur politik Indonesia," tegasnya.

Di sisi lain, kata Gayus Lumbuun, ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang Advokat memberikan status kepada advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.

"Kedudukan tersebut memerlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Advokat, yaitu organisasi advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Selain itu wilayah kerja advokat juga luas, yaitu meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia," katanya.

Secara garis besar fungsi dan peranan advokat, yaitu sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia, memperjuangkan hak asasi manusia, melaksanakan kode etik advokat, memegang teguh sumpah advokat dalam rangka menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran, menjunjung tinggi serta mengutamakan idealisme (nilai keadilan, kebenaran dan moralitas), melindungi dan memelihara kemandirian, kebebasan, derajat dan martabat advokat, menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan advokat terhadap masyarakat dengan cara belajar terus-menerus (continuous legal education) untuk memperluas wawasan dan ilmu hukum, menangani perkara-perkara sesuai dengan kode etik advokat, baik secara nasional maupun secara internasional, mencegah penyalahgunaan keahlian dan pengetahuan yang merugikan masyarakat dengan cara mengawasi pelaksanaan etika profesi advokat melalui Dewan Kehormatan Asosiasi advokat.

"Kemudian memelihara kepribadian advokat karena profesi advokat yang terhormat (officium nobile), menjaga hubungan baik dengan klien maupun dengan teman sejawat, memelihara persatuan dan kesatuan advokat agar sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi advokat, memberi pelayanan hukum (legal services), nasehat hukum (legal advice), konsultan hukum (legal consultation), pendapat hukum (legal opinion), informasi hukum (legal information) dan menyusun kontrak-kontrak (legal drafting), serta membela kepentingan klien (litigasi) dan mewakili klien di muka pengadilan (legal representation), dan memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada masyarakat yang lemah dan tidak mampu (melaksanakan pro bono publico)," imbuhnya.

Dengan melihat fungsi dan peranan advokat sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia, serta memperjuangkan hak asasi manusia, maka sudah dapat
dipastikan bahwa organisasi advokat merupakan golongan kepentingan yang termasuk dalam katagori sebagai insfrastruktur politik dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Dalam sejarah pemerintahan Indonesia, ungkap Gayus Lumbuun, peran advokat sudah terbukti dalam reformasi pada 1999. Sehingga jelas advokat adalah sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan untuk terlibat penuh baik dalam proses penegakan hukum, maupun dalam memperjuangkan keadilan, hak asasi manusia dalam berbagai kebijakan publik.

Sementara itu, babak baru partisipasi publik termasuk organisasi profesi advokat dalam pembentukan Undang-Undang terjadi ketika MK memberikan pertimbangannya dalam memutus konsrtitusionalitas secara formil Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Dalam pertimbangan hakim dikemukakan bahwa perlunya memperhatikan partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan Undang-Undang yang tergambar dalam tiga pengertian, yaitu The Right to be Heard (hak untuk didengar), The Right to Considered (hak untuk dipertimbangkan) dan The Right to be Explained (hak untuk mendapatkan penjelasan)," tambahnya.

"Pertimbangan Hakim Konstitusi, kemudian menjadi materi yang dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan."

Konsep tentang 'meaningfull public participation' berdasarkan Putusan MK Nomor 91 tahun 2020 dan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022. Pasal 96, yakni masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring, masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat, dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui: rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; seminar, lokakarya, diskusi; dan/atau kegiatan konsultasi publik lainnya.

Ditambahkannya, hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dan, ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden.

Dengan mengacu kepada pemikiran bahwa organisasi profesi advokat merupakan infrasktruktut politik yang berhak ikut serta dalam perumusan kebijakan publik, serta tuntutan perlunya meaningful participation dalam pembentukan Undang-Undang, maka reorientasi peran profesi advokat sebagai stakeholder adalah di dasarkan pada dua argumentasi penting. 

"Pertama, secara substantif bahwa anggaran dasar organisasi advokat menyatakan bahwa organisasi profesi advokat berfungsi dan berperan untuk memperjuangkan keadilan, kesejahteraan masyarakat serta jaminan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian, komitmen dari organisasi profesi advokat tidak saja dalam tahap penegakan hukum, dalam arti dalam pembelaan terhadap klien, tetapi sejak pembentukan hukum atau Undang-Undang agar hukum yang dibentuk oleh pemerintah dan DPR sebagai bentuk kebijakan publik memilik landasan keadilan yang kuat serta menjamin tegaknya hak-hak asasi manusia. Hal ini juga menggambarkan bahwa keadilan dan hak asasi manusia mencakup semua bidang kebijakan publik, baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga tuntutan terhadap partisipasi oerganisasi advokat tidak saja menyangkut Undang-Undang tentang Advokat atau KUHP dan KUHAP tetapi sesungguhnya mencakup semua peraturan perundang-undangan. Tujuan dari partisipasi advokat tersebut agar hukum yang dihasilkan memiliki karakteristik hukum yang responsive, yaitu hukum yang mencerminkan kebutuhan masyarakat, atau hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan dalam memberikan soluasi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat," ungkapnya.

Kedua, kata Gayus Lumbuun, aspek penting yang menjadi pertimbangan pentingnya paritipasi profesi advokat adalah dalam rangka secara prosedural memenuhi meaningful participation atau partisipasi yang bermakna yang mengandung tiga elemen penting yaitu hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan masukannya, dan hak untuk diberikan penjelasan. 

"Hal ini merupakan persyarakat formil dalam pembentukan Undang-Undang atau pembuatan kebijakan publik yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Dalam beberapa kasus pengujian formil terhadap Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, telah menggunakan meaningful participation sebagai salah satu penilaian konstitusionalitas pembentukan Undang-Undang secara formil," sebutnya.

Ketiga, tambah dia, aspek yang menjadi inti dari reorientasi organisasi advokat dalam melakukan partisipasi adalah mengikuti mekanisme partispasi publik yang telah disediakan oleh DPR, yaitu terlibat dalam kegiatan seminar, diskusi kelompok, uji publik RUU, baik secara langsung maupun secara elektronik. 

"Organisiasi Advokat harus dapat menyesuaikan dengan metode-metode partisipasi publik yang telah disediakan oleh DPR. Bahkan dalam prakteknya, pembahasan RUU di DPR dilakukan secara langsung melalui siaran televisi, atau melalui YouTube dan streaming," terangnya. 

Ditambahkannya, penguatan secara kelembagaan yang perlu dilakukan secara internal organisasi advokat adalah perlunya satu divisi khusus yang terkait dengan advokasi kebijakan publik dalam organisasi profesi advokat.

"Divisi ini bertugas mengikuti, memantau mengawasi proses-proses penyusunan kebijakan publik, termasuk juga ikut melakukan pengawasan terhadap penerapan Undang-Udang atau kebijakan publik untuk menjamin agar pelaksanaan suatu Undang-Undang sesuai dengan amanat yang tertuang dalam suatu Undang-Undangan," tukas Gayus Lumbuun.

 

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment