Pemilu, Stabilitas Politik, dan Keberlanjutan Kemajuan

19 September 2023 04:51
Penulis: Alber Laia, news
Sejumlah penari membawa bendera partai politik saat Kirab Pemilu Tahun 2024 Kota Denpasar, Bali, Minggu (6/8/2023). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/YU

Sahabat.com - Tujuan utama semua pemerintahan di mana pun adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara memajukan kehidupan ekonomi negara.

Namun hal itu membutuhkan prasyarat lingkungan politik yang stabil untuk memastikan lapangan kerja tercipta, pendapatan nasional meninggi, warga miskin terentaskan, tingkat kesejahteraan, dan level pendidikan meningkat.

Stabilitas politik juga menjadi fondasi untuk adanya pembangunan yang berkelanjutan sehingga kesejahteraan rakyat bisa dipertahankan selama mungkin.

Sebaliknya, instabilitas politik, termasuk akibat perubahan orientasi kekuasaan yang terlalu drastis, sering membuat kesejahteraan dan pembangunan ekonomi menjadi tak berkelanjutan sehingga menyusahkan rakyat.

Intinya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik berkaitan satu sama lain. Keduanya menjadi dua hal yang diburu penguasa dan calon penguasa di mana pun.

Elite politik pun berusaha keras memburu keberlanjutan dengan memastikan sistem kekuasaan tetap dalam genggaman mereka, yang di negara-negara demokrasi, ditempuh lewat mekanisme pemilihan umum.

Keadaan itu sering kali membuat negara diperintah oleh rezim yang sama selama periode waktu tertentu. Akan tetapi, dengan cara demikian, negara malah lebih memiliki kesempatan bagus dalam meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan rakyat dan memajukan ekonomi.

India dan Turki adalah dua contoh yang bisa disebut untuk melukiskan hal itu.

Kedua negara mencapai level kemakmuran seperti dinikmati sekarang karena mereka menikmati periode politik relatif stabil yang memungkinkan target-target nasional dan ekonomi bisa tercapai.

Dalam beberapa tahun terakhir India mencetak pencapaian-pencapaian hebat, termasuk ekonomi, karena untuk periode waktu cukup lama negara ini dikuasai oleh kekuatan politik yang relatif sama.

Dalam kurun 27 tahun terakhir India relatif didominasi sebuah partai yang membuat mereka mampu membentuk pemerintahan solid selama waktu itu, terutama sejak 2014. Partai Kongres sempat menyeruak dengan memenangi Pemilu 2004 dan 2009.

Partai itu adalah Bharatiya Janata, yang dalam 27 tahun terakhir menghasilkan dua perdana menteri yang menjadi faktor kebangkitan India, yakni Atal Bhihari Vajpayee dan Narendra Modi. Namun pada periode 2004-2014.

Sekalipun Bharatiya Janata fokus membidik mayoritas Hindu di India, mereka mampu membentuk pemerintahan yang solid semasa era Narendra Modi ini sejak 2014.

Ini berbeda dengan 54 tahun masa pemerintahan Partai Kongres (minus Partai Kongres yang berkuasa dari 2004-2009). Selama periode itu, politik India terus bergolak, sampai memicu pembunuhan politik terhadap Indira Gandhi dan Rajiv Gandhi.


Pemerintahan yang solid dan efektif

Stabilitas politik itu sendiri membuat India bisa mengejar pencapaian-pencapaian nasional, yang membuatnya berubah menjadi salah satu kekuatan ekonomi global sangat penting dewasa ini.

India menjadi salah satu bintang ekonomi baru dunia yang memukau ekonom-ekonom dan para investor global karena pencapaian-pencapaian ekonominya yang mengesankan setelah menikmati stabilitas politik relatif lama.

Produk domestik bruto (PDB) India dalam 10 tahun terakhir pun tumbuh rata-rata 6-7 persen, sampai India bisa menyalip Inggris sebagai kekuatan ekonomi kelima terbesar di dunia.

Pertumbuhan ekonomi itu sendiri mendorong pencapaian-pencapaian besar lainnya, termasuk industrialisasi yang masif dan inovasi-inovasi besar dalam berbagai bidang, hingga ruang angkasa.

Hal relatif sama terjadi di Turki. Faktor terpenting yang membuat kemakmuran negara ini mencapai level tinggi dalam dua dekade terakhir, juga ditentukan oleh stabilitas politik setelah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) lama mencengkeram Turki sejak 2002 sehingga mereka mampu membuat pemerintahan yang solid dan efektif.

Sejak Turki menerapkan sistem multipartai pada 1946, AKP bahkan menjadi satu-satunya partai politik yang bisa memenangi pemilu legislatif enam kali berturut-turut.

Itu menjadi fondasi bagi terciptanya sistem pemerintahan yang solid yang bisa efektif merancang dan mengeksekusi kebijakan, baik saat masih dalam sistem parlementer maupun sejak Turki mengadopsi sistem presidensial pada April 2017.

Dalam periode 2010-2023, perekonomian Turki terus tumbuh positif, antara terendah 0,78 persen pada 2019, sampai tertinggi 11,35 persen pada 2021. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi Turki mencapai 5,57 persen.

Stabilitas politik itu pula yang menjadi modal besar negara-negara totaliter penganut sistem partai tunggal seperti China dan Vietnam, dapat berubah menjadi kekuatan baru dunia, setelah mereka juga menyandingkan stabilitas politik itu dengan keberanian mengadopsi ekonomi pasar seperti dirangkul negara bersistem ekonomi terbuka dan liberal.

Sejak membuka perdagangan dan investasi domestik kepada dunia luar, serta merangkul pasar bebas pada 1979, China menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia, dengan rata-rata pertumbuhan PDB 9,5 persen dari awal 1980-an sampai 2018.

Sejak 2010, China menyeruak menjadi negara yang memiliki postur ekonomi paling besar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Pada skala lebih kecil, Vietnam adalah contoh lain suksesnya perkawinan stabilitas politik dengan reformasi ekonomi.

Sejak melancarkan reformasi "Doi Moi" pada 1986, Vietnam berubah dari semula menjadi salah satu negara termiskin di dunia menjadi negara ekonomi menengah. Antara 2002-2021, PDB per kapita negara ini naik 3,6 kali lipat menjadi 3.700 dolar AS.


Kebiasaan bagus di Indonesia

Akan tetapi stabilitas politik juga bisa ditempuh dengan penindasan, tirani, dan ketertutupan. Masalahnya, stabilitas politik seperti ini selalu gagal mengembangkan ekonomi dan mensejahterakan rakyatnya.

Lain hal, ada yang berbeda dari corak stabilitas politik yang dinikmati negara-negara seperti India dan Turki, dengan negara-negara demokrasi Barat, termasuk Korea Selatan dan Jepang.

Di negara-negara itu stabilitas politik tidak ditentukan oleh faktor individu pemimpin seperti terjadi di Turki dan Rusia di mana faktor Vladimir Putin demikian dominan, melainkan oleh rule of law yang jelas, institusi-institusi politik dan demokrasi yang kuat, birokrasi yang responsif dan efisien, tingkat korupsi yang rendah, dan iklim usaha yang kondusif bagi investasi.

Stabilitas politik model terakhir ini lebih ideal dan berdaya tahan tinggi karena siapa pun yang memimpin negara tak akan bisa drastis mengubah hal baik yang sudah diciptakan rezim sebelumnya sehingga perubahan tak merusak keberlanjutan, apalagi menciptakan masalah stabilitas politik.

Hal lain yang mesti diperhatikan adalah, karena power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup), maka keinginan untuk berlama-lama berkuasa kerap menjadi pintu untuk abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan).

Pemimpin-pemimpin seperti Erdogan mungkin akan terus berkuasa, tapi mereka akan senantiasa tergoda untuk mengakumulasi kekuasaan padahal ini adalah bibit-bibit untuk terjadinya abuse of power.

Kecuali mereka bisa membarengi konsolidasi kekuasaan dengan memperkuat institusi-institusi politik, maka stabilitas yang mereka ciptakan akan terus positif bagi negeri itu.

Tantangan serupa dihadapi oleh negara-negara seperti China dan Vietnam, mungkin tidak untuk saat ini, tapi bisa terjadi di kemudian masa.

Pertanyaannya, di manakah letak Indonesia dalam konteks ini? Jelas, tidak dalam barisan sistem partai tunggal seperti China dan Vietnam.

Indonesia agak mirip dengan Turki dan India. Namun, dibandingkan dengan Turki yang memerlukan dua dekade dalam cengkeraman kekuatan atau tokoh politik yang sama, Indonesia lebih baik karena mencapai level kemakmuran tinggi tanpa tergantung kepada rezim yang begitu lama berkuasa.

Pada titik tertentu, Indonesia malah telah menciptakan siklus dan kebiasaan bagus bahwa siapa pun yang berkuasa, tak menghentikan keberlanjutan. Peralihan dari Susilo Bambang Yudhoyono kepada Joko Widodo pun tak menghilangkan keberlanjutan, kendati agaknya ada perbedaan pada tempo dan keberanian dalam mengeksekusi kebijakan.

Kendati begitu, Indonesia membutuhkan waktu lebih banyak lagi untuk menguatkan lagi kelembagaan politiknya serta menyisihkan aspek-aspek buruk kekuasaan seperti korupsi sehingga kelembagaan politik yang kuat itu menjadi fondasi yang lebih kokoh dalam menciptakan keberlanjutan, seperti terjadi di negara-negara demokrasi maju.

Di tengah persaingan global yang semakin keras, keberlanjutan adalah keniscayaan karena bisa membuat negara-negara seperti Indonesia mengatasi ketertinggalan atau bahkan menyalip mereka yang berada di depan.(Ant)

0 Komentar

Berita Terkait

Leave a comment